Selasa, 26 Desember 2017

Busur Magmatik Indonesia

Sebagai daerah pertemuan tiga lempeng aktif, Indonesia juga memiliki daerah busur kepulauan yang menyebar sepanjangan wilayah timur – selatan Indonesia. Pergerakan lempeng – lempeng secara aktif pada masa neogen menyusun Indonesia menjadi beberapa jalur aktif busur magmatik. Indonesia memiliki 7 jalur utama busur magmatik dan beberapa busur minor. Ketujuh busur mayor tersebut adalah:
1.         Busur Sunda-Banda (Neogen)
2.         Busur Sumatra-Meratus (Pertengahan dan Akhir Cretaceous)
3.         Busur Halmahera (Neogen)
4.         Busur Sulawesi-Timur Mindanao (Neogen)
5.         Busur Kalimantan Tengah (pertengahan Tertiary dan Neogen)
6.         Busur Tengah Irian Jaya (Neogen)
7.         Busur Aceh (Neogen)

Pembagian Busur di Indonesia (berbagai sumber)

2.1 BUSUR SUMATRA-MERATUS
Merupakan busur kontinen yang memanjang pada ujung bagian selatan Paparan Sunda dari utara Sumatera melewati ujung timur Jawa Barat menerus ke arah timur Kalimantan. Paparan Sunda bersifat kontinen masif dengan batuan dasar berumur Paleosen atau lebih tua menerus ke arah utara melalui Semenanjung Malaysia ke arah Thailand, Myanmar, dan Indocina. Bagian busur oseanik berupa Grup Woyla pada bagian barat Pulau Sumatera merupakan hasil proses pengangkatan ke arah selatan pada margin kontinen dari Paparan Sunda (Cameron dkk., 1980; Wajzer dkk., 1991).
Kemungkinan ini terjadi pada Awal sampai Akhir Kapur. Busur batuan basa berarah utara mengalami tumbukan yang menyebabkan terbentuknya batuan ofiolit dan selanjutnya terangkat menempati bagian dari tepian selatan Paparan Sunda, membentuk Grup Woyla pada bagian utara Sumatera, batuan yang sama terdapat pada bagian barat Sumatera Selatan, batuan ofiolit di Jawa bagian baratdaya, Ofiolit Meratus dan Formasi Alino di Kalimantan bagian tenggara. Kondisi yang mirip terjadi sebelum Kapur Tengah dimana batuan basa dan ofiolit terangkat menempati tepian barat Paparan Sunda (Mitchell, 1992).
Busur Sumatra - Meratus 

Sejak Jura Tengah sampai Akhir Kapur, tepian selatan Paparan Sunda kemungkinan merupakan tepi kontinen yang pasif, di Sumatera ke arah barat dan Kalimantan ke arah utara, pada Akhir Kapur terjadi perputaran ke arah berlawanan jarum jam pada bagian timur Paparan Sunda dan berarah jarum jam pada bagian barat Paparan Sunda terhadap posisi pada saat ini. 

Batuan oseanik berupa Grup Woyla pada bagian barat Sumatera merupakan hasil proses pengangkatan ke arah selatan pada tepi kontinen dari Paparan Sunda. Hal ini kemungkinan bahwa pada akhir Kapur Awal busur batuan basa berarah utara mengalami tumbukan, terdapat asosiasi ofiolit dan terangkat menempati pada bagian dari tepian selatan Paparan Sunda yang pasif membentuk Grup Woyla pada bagian utara Sumatera. Batuan yang ekuivalen terdapat pada sebelah barat Sumatera bagian selatan, batuan ofiolit di Jawa bagian baratdaya, ofiolit Meratus dan Formasi Alino di Kalimantan bagian tenggara.

Busur magmatik mulai mengalami pembalikan proses tektonik setelah pembentukan Kelompok Woyla. Penunjaman ke arah utara menyebabkan pembentukan busur magmatik pada Awal Kapur sampai Akhir Kapur yang melampar melewati Sumatera dan Laut Jawa, terobosan-terobosan berasosiasi dengan kelompok batuan volkanik Manunggal di Pegunungan Meratus, di Sumatera, termasuk pluton Ulai, Batolit Manunggal dan Batolit Sikuleh. Intrusi-intrusi tersebut umumnya menerobos Woyla, akan tetapi di Jalur Bukit Barisan Sumatera Selatan intrusi granit secara struktural menempati bagian lebih rendah, pada Awal Mesozoik atau batuan lebih tua dari batuan dasar kontinen.

2.2 BUSUR SUNDA-BANDA
Busur Sunda-Banda merupakan busur paling panjang di Indonesia, melampar dari utara Pulau Sumatera melewati Pulau Jawa ke arah timur dan berakhir di Pulau Banda. Segmen barat terdiri dari Sumatera, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, dan terbentuk pada tepian selatan Paparan Sunda. Bagian timur dari Jawa Tengah ditafsirkan sebagai busur kepulauan terbentuk pada kontinen yang tipis atau kerak intermedier. Kegiatan tektonik Paleogen dan diikuti tektonik Akhir Kapur dimana kegiatan volkanisme di Busur Sumatera-Meratus berakhir. Margin kontinen posisi pasif dari Paparan Sunda pada Akhir Eosen (Hamilton, 1979; Daly dkk., 1991) telah melampar ke arah Pulau Sumatera, dimana intrusi kalk-alkali terjadi dengan umur antara 52 - 57 juta tahun, dan kemungkinan lebih muda (N. Cameron, pers commun., 1991; Wajzer dkk., 1991) menggambarkan adanya penunjaman secara lambat ke arah utara pada awal sampai pertengahan Eosen.
Deformasi bersifat kompresif di lepas pantai Pulau Sumatera bagian barat (Daly dkk., 1991) dan berakhirnya penunjaman Paleogen merupakan gambaran saat terbentuknya ofiolit pada bagian utara dan busur kepulauan yang bertepatan dengan terbentuknya Ofiolit Oligosen di jalur Indo-Burma (Sengupta dkk., 1990) dan terbentuknya batuan bancuh dengan fragmen ofiolit pada kepulauan di sebelah barat Sumatera (Harbury & Kallagher, 1991). Di bagian timur Pulau Sumatera, ofiolit dann batuan Paleogen, termasuk basal di Jawa merupakan bagian dari margin Sunda sebelum Akhir Oligosen.




Busur Sunda-Banda.

Menurut W. McCourt (1993), pada Akhir Oligosen sampai Akhir Moiosen, busur magmatik yang melampar luas pada sebagian besar Pulau Sumatera membentuk formasi batuan yang oleh van Bemmelen (1949) disebut Formasi Andesit Tua. Busur ini secara strategis setempat terpisah dari batuan yang lebih muda yaitu batuan yang lebih muda dari Neogen yang dicirikan oleh batuan endapan laut, termasuk didalamnya batulumpur. Sampai sekarang belum ada umur pengendapan batuan yang dapat dikorelasikan dengan busur Tersier Tengah tersebut, posisinya bersamaan dengan busur Neogen.
Busur Andesitik berumur Miosen dengan pelamparan yang sama dengan volkanik Kuarter, melampar sepanjang Bukit Barisan (eg., Aspden dkk., 1982b; Aldiss dkk., 1983) dan menerus ke Jawa dan bagian barat dari Busur Banda sampai Damar. Di luar sebaran tersebut, ke arah timur hanya dijumpai pulau-pulau dengan endapan volkanik Kuarter dan tidak didapatkan data bahwa pada saat Neogen melampar sampai daerah tersebut.Di Pulau Sumatera, batuan gunungapi dominan terbentuk pada lingkungan darat dan umumnya menumpang pada batuan berumur Miosen Awal berupa batuan gunungapi, batulumpur, dan batuan dasar berumur Miosen dan Paleozoik termasuk juga batuan ofiolit Mesozoik Akhir dari grup Woyla, serta batuan plutonik busur magmatik Kapur Akhir.

2.3 BUSUR SULAWESI-TIMUR MINDANAO
Pulau Sulawesi mempunyai bentuk yang berbeda dengan pulau lainnya. Apabila melihat busur-busur disekelilinya Benua Asia, maka bagian concaxnya mengarah ke Asia tetapi Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang justru convaxnya yang menghadap ke Asia dan terbuka ke arah Pasifik, oleh karena itu Pola Sulawesi sering disebut berpola terbalik atau inverted arc.Pulau Sulawesi terletak pada zone peralihan antara Dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul dan dikelilingi oleh laut yang dalam. Dibagian utara dibatasi oleh Basin Sulawesi ( 5000 – 5500 m ). Di bagian Timur dan Tenggara di batasi oleh laut Banda utara dan Laut Banda Selatan dengan kedalaman mencapai 4500 – 5000 m. Sedangkan untuk bagian Barat dibatasi oleh Palung Makasar (2000-2500m).
Sebagian besar daerahnya terdiri dari pegunungan dan tataran rendah yang terdapat secara sporadik, terutama terdapat disepanjang pantai. Dataran rendah yang relatif lebar dan padat penduduknya adalah dibagian lengan Selatan. Berdasarkan orogenesenya dapat dibagi ke dalam tiga daeran (Van Bemmelen, 1949) sebagai berikut:

A. Orgonese di Sulawesi
1. Orogenese di bagian Sulawesi Utara
Meliputi lengan Utara Sulawesi yang memanjang dari kepulauan Talaud sampai ke Teluk Palu – Parigi. Daerah ini merupakan kelanjutan ke arah Selatan dari Samar Arc. Termasuk pada daerah ini adalah Kepulauan Togian, yang secara geomorfologis dikatakan sebagai igir Togian (Tigian Ridge). Daerah orogenese ini sebagain termasuk pada inner arc, kecuali kepulauan Talaud sebagai Outer Arc.

2. Orogenese di bagian Sulawesi Sentral
Dibagian sentral ini terdapat tiga struktur yang menjalur Utara – Selatan sebagai berikut:
a. Jalur Timur disebut Zone Kolonodale terdiri atas lengan timur dan sebagian yang nantinya bersambung dengan lengan Tenggara. Sebagai batasnya adalah garis dari Malili.
b. Teluk Tomori. Daerah ini oleh singkapan-singkapan batuan beku ultra basis.
c. Jalur Tengah atau Zone Poso, batas Barat jalur ini adalah Medianline. Zona ini merupakan Graben yang memisahkan antara Zona Barat dan Timur.Dibagian Utara Zone ini terdapat Ledok Tomini dan di Selatannya terdapat Ledok Bone
Daerah ini ditandai oleh mayoritas batuan Epi sampai Mesometamorfik crystalline schist yang kaya akan muscovite.
d. Jalur Barat atau Zona Palu, ditandai oleh terdapat banyaknya batuan grano – diorite, crystalline schist yang kaya akan biotite dan umumnya banyak ditemui juga endapan pantai. Zona ini dibagian Utara dibatasi oleh Teluk Palu – Parigi, di Selatan dibatasi garis dari Teluk Mandar – Palopo. Dari Teluk Mandar – Palopo ke arah selatan sudah termasuk lengan Selatan – Sulawesi. Daerah jalur Barat ini merupakan perangkaian antara lengan Utara Zone Palu dan lengan selatan merupakan satuan sebagain Inner Arc
.
3.Orogenese di bagian Sulawesi Selatan
Secara garis besar tangan selatan Sulawesi merupakan kelanjutan Zone Palu (Zone bagian barat Sulawesi Tengah) dan tangan tenggara merupakan kelanjutan dari tangan Timur Sulawesi (Zone Kolonodale). Secara Stratigrafi antara lengan selatan dan lengan tenggara banyak memiliki kesamaan, begitu juga antara Zone Palu Lengan Utara dengan Zone Kolonodale Lengan Timur dilain fihak. Walaupun demikian diantaranya terdapat perbedaan-perbedaan sebagai contoh bagian ujung selatan (di Selatan D. Tempe).

B. Geologi Regional
Sulawesi terletak pada pertemuan Lempeng besar Eurasia, Lempeng Pasifik, serta sejumlah lempeng lebih kecil (Lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofi olit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya (Van Leeuwen, 1994). Berdasarkan keadaan litotektonik, Sulawesi dibagi tiga mandala, yaitu: Mandala barat sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda; Mandala tengah berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia; dan Mandala timur berupa ofi olit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias - Miosen. Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa mandala barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat dari Buol sampai sekitar Makassar.
Secara geologi, sulawesi merupakan wilayah yang geologinya sangat komplek, karena merupakan perpaduan antara dua rangkaian orogen ( Busur kepulauan Asia timur dan system pegunungan sunda ).Sehingga, hamper seluruhnya terdiri dari pegunungan, sehingga merupakan daerah paling berpegunungan di antara pulau- pulau besar di Indonesia (Sutardji, 2006 :100).

C. Pembagian Litogenetik di Pulau Sulawesi
Berdasarkan keadaan litotektonik Pulau Sulawesi dibagi 3 yaitu:
1.      Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano - Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik (Cenozoic Volcanics and Plutonic Rocks) yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda;
2.      Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia
3.      Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen


C. Jenis Endapan Mineral
Pada busur ini, aktivitas magmatik cenderung berada pada daerah bawah laut dan juga tersusun oleh batuan sedimen sebagai akumulasi kegiatan tektonik aktif di daerah ini. Dominasi busur ini adalah aktivitas lempeng aktif yang membentuk lengan – lengan kepulauan Sulawesi. Akibat pertemuan tiga lempeng samudera yang berada di sulawesi arc menyebabkan magma basa sehingga menghasilkan mineral yang mengandung logam berat. Akibatnya, mineralisasi yang terjadi meliputi porfiri emas-tembaga, endapan sulfidasi tinggi, sediment hosted gold, dan urat sulfidasi rendah.

2.4 BUSUR ACEH

Busur Aceh (Neogen) Busur Aceh berbatasan dengan bagian utara dari Sumatera. Stephenson dkk (1982) menggambarkan  penunjaman di lepas pantai bagian utara Sumatera dimana pada daerah ini endapan gunungapi muda berhubungan dengan yang terdapat pada bagian daratan. Tunjaman tersebut kemungkinan juga aktif pada awal Miosen Tengah, diduga bahwa penunjaman ke arah selatan dari Cekungan Mergui yang bersifat oseanik menunjam di bawah batuan dasar bagian utara Sumatra dari Paparan Sunda.  Meskipun sedikit penyelidikan yang dilakukan, Busur Aceh dengan jelas dapat dibedakan dengan bagian barat dari Busur Sunda-Banda, serta dicirikan dengan terdapatnya tembagamolibdenum porfiri (Van Leeuwen dkk., 1987 dalam Carlile dan Mitchell, 1996) dan lebih dominannya mineralisasi epitermal sulfidasi tinggi dibandingkan sulfidasi rendah. 
Zona penunjaman lempeng sepanjang Palung Sunda dapat dipetakan lebih akurat melalui peta batimetri terbaru Kelurusan lembah dan gawir di dalam komplek Busur Muka Aceh membentuk unsur patahan utama yang ditafsirkan sebagai sesar anjak berarah utara baratlaut-selatan tenggara di kawasan utara lintang 5°U dan berbelok hampir barat-timur di selatan Pulau Simeulue. Komplek sesar anjak di dekat palungatau pada zona deformasi lebih aktif dibandingkan dengan Komplek Sesar Anjak Utama dan sesar anjak yang dekat dengan Cekungan Busur Muka Aceh (Komplek Sesar Anjak Atas).
Kelurusan struktur berupa gawir dan lembah sempit umumnya berarah utara-selatan yang memotong kelurusan berarah baratlaut-tenggara. Kelurusan tersebut dianggap kelurusan paling muda berupa patahan geser dekstral yang kemungkinan masih aktif. Kelurusan perbukitan yang membentuk kelurusan en echelon dengan arah bervariasi utara baratlautselatan tenggara dan baratlaut – tenggara, dan kemudian berubah menjadi berarah hampir barat-timur di sekitar Pulau Simeulue. Pola kelurusan perbukitan tersebut ditafsirkan sebagai respon dari naiknya tingkat kemiringan bidang penunjaman lempeng dari daerah Simeulue ke arah Lintang 5°U -7°U atau secara umum dari selatan Sumatra ke arah utara Sumatr.

2.5 BUSUR KALIMANTAN TENGAH
Busur Kalimantan Tengah merupakan busur kontinen yang melampar dari Kalimantan bagian timurlaut ke arah selatan melewati Kalimantan Tengah dan Barat dan menerus ke Serawak. Batuan berumur sebelum Kapur termasuk sedimen Mesozoik berada di atas sekis dan filit berumur Paleozoik, dimana terbentuk pada saat orogenesa yang terjadi pada Awal Mesozoik (Hutchinson, 1989).
Busur ini terakhir di intrusi oleh granit pada Trias Akhir, kemungkinan berlangsung juga pembentukan jalur timah putih di Asia Tenggara pada Awal Mesozoik dimana diintrusi juga oleh pluton berumur Kapur Awal seperti dapat dijumpai pada Pegunungan Schwaner. Pada pertengahan Eosen, terbentuk tufa riolit berumur 49,7 dan 48,6 juta tahun (Baharuddin dkk., 1990). Sebelum Eosen Atas sampai Oligosen, terbentuk batuan sedimen. Kondisi pembentukan tufa riolit tersebut kemungkinan akibat pemekaran yang berkaitan dengan pembentukan Laut Sulawesi.
Busur magmatik di tengah Pulau Kalimantan diketahui pada beberapa tahun terakhir dari sisa-sisa erosi batuan andesitik sampai trahit-andesitik dari volkanik fasies sentral yang berumur Oligosen Akhir sampai Awal Miosen, pada beberapa tempat berasosiasi dengan cebakan emas dan beberapa daerah prospek logam. Batuan volkanik tersebut termasuk juga trahit-andesit yang berumur 23 juta tahun tersingkap dekat tambang Kelian (van Leeuwen dkk., 1990), batuan terobosan andesit dan basalt berumur 14,4 - 24 juta tahun di antara Kelian dan Gunung Muro (van de Weerd dkk., 1987).

Busur ini dapat dikaitkan dengan Busur Kalimantan Barat dimana tonalit berumur 21 dan 27,8 juta tahun di serantak dan prospek emas Banyi (S. Bugg, pers.com, 1992) merupakan yang termuda dan kemungkinan terbentuk setelah terobosan-terobosan pra-mineralisasi. Pada utara pusat volkanik Atan, busur menerus melewati intrusi-intrusi granodiorit dan granit berumur 26 juta tahun di Long Laai (Hutchinson, 1989) dan granodiorit di daerah Kujau.
Ke arah utara akhirnya busur menghilang di bawah sistem busur Neogen di daerah Sabah. Akhir dari jalur vulkanisme terjadi 20 juta tahun, diindikasikan adanya tumbukan dengan fragmen dari zona kontinen di Sarawak barat laut (Hutchinson, 1989). Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa Busur Tengah Kalimantan berkaitan penunjaman ke arah selatan pada Oligosen - Awal Miosen, jalur tunjaman umumnya terletak pada atau barat laut Serawak. Jalur sedimen pada cekungan di Ketungau, Melawi dan Mandali bagian tengah Kalimantan yang terbentuk pada Akhir Eosen Oligosen (Williams dkk, 1988) menggambarkan bahwa endapan terbentuk pada cekungan busur luar.

2.6  BUSUR HALMAHERA
Busur Halmahera melampar dari Pulau Bacan di bagian selatan menerus ke arah bagian utara dari lengan Pulau Halmahera dan menerus ke bagian barat Pulau Morotai. Batuan dasar tersingkap di bagian selatan dari busur ini,  di Pulau Bacan terdiri dari sekis dengan batuan basaltik dan andesitik berumur Paleogen terdapat di bagian utara (Sufni Hakim dan Hall, 1991). Batuan Paleogen tersebut menumpang pada ofiolit dimana secara stratigrafi menumpang di atas sekis Bacan.
Stratigrafi Pulau Halmahera dan Pulau Waigeo mirip dengan stratigrafi bagian timur Mindanao (Hall dkk, 1991). Kemungkinan daerah ini pada saat Paleogen berada pada satu lempeng, dan ofiolit Halmahera-Waigeo merupakan bagian dari ofiolit New Guinea - bagian timur Pulau Sulawesi dan menerus ke daerah Mindanao (Mitchell dan Leach, 1991).

            Sekis Bacan merupakan batuan malihan, sebagai batuan dasar yang termasuk bagian Sula-Buton-Bumbulan bagian dari kontinen New Guinea dan ofiolit Waigeo tersesarkan naik ke arah selatan (Chariton dkk, 1991) dan menumpang pada Sekis Bacan pada Oligosen. Setelah itu, saat New Guinea bergerak ke arah utara, Halmahera terputar dan kemungkinan bergerak ke arah barat pada patahan Sorong selama proses penunjaman di Laut Molucca dengan arah timur.
Busur andesitik di Halmahera terdiri dari batuan terobosan dan batuan gunungapi Neogen yang setempat-setempat dan tertutup endapan gunungapi Kuarter. Batuan eruptif Neogen terbentuk pada Akhir Miosen atau Pliosen (Sufni Hakim dan Hall, 1991).Terobosan tonalit di Bacan kemungkinan berumur lebih tua. Terobosan tersebut merupakan akibat adanya penunjaman ke arah selatan disertai pembentukan ofiolit di Halmahera dan balik busur. Hal ini ekuivalen dengan pembentukan batuan Gunungapi Moon dan diorit Utawa di Papua. Batuan gunungapi Akhir Neogen berhubungan dengan penunjaman di Laut Maluku, dimana Halmahera bergerak ke arah barat.

2.7 BUSUR TENGAH IRIAN JAYA
Daerah busur tengah Irian Jaya memanjang dari kepala burung hingga Papua Nugini. Hal ini berkaitan dengan pergerakan sabuk New Guinea, sebuah zona sabuk metamorfik dan pembentukan ophiolit. Busur diikuti juga dengan subduksi di selatan dan diikuti penumbukan. Kegiatan vulkanisme yang mengikuti adalah bersifat andesitik. Busur tengah Irian Jaya terbentuk di lempeng aktif Pasifik. Deformasi yang terus terjadi mengakibatkan pembentukan deposit pada daerah benua pasif yang terbentuk sebelumnya dengan dasar berupa batugamping jalur New Guinea. Mineralisasi yang terjadi berupa porfiri yang kaya akan emas, badan bijih skarn.
Keberadaan ketujuh busur mayor ini berkaitan dengan mineralisasi aktif di Indonesia, terutama terhadap emas dan tembaga. Jumlah endapan per km panjang busur tergantung pada masing - masing busur dan kontrol lain yang berkaitan dengan mineralisasi. Pada gambar di atas ditunjukkan daerah mineralisasi aktif sepanjang busur magmatik di Indonesia.
Struktur Geologi Dari tatanan tektonik Irian Jaya Kepulauan Misool terletak pada Misool – Onin High yang  berbatasan dengan Cekungan Salawati di utaranya. Struktur geologi Kepulauan Misool membentuk lajur antiklin yang tersesarkan, dan diduga merupakan suatu antiklinorium dengan arah sumbu sejajar dengan pantai selatan pulau Misool (Arah Barat – Timur). Berdasarkan penafsiran tersebut P. Misool diperkirakan merupakan sayap utara antiklinorium dengan sayap selatannya ditempati oleh pulau – pulau kecil di sebelah selatan dan tenggara dari P. Misool.  Antiklinorium ini dipotong oleh beberapa sesar turun dan sesar geser yang berarah Timurlaut dan Timur – Tenggara. Disamping itu terdapat kelurusan-kelurusan berarah Timurlaut dan Utara – Timurlaut di bagian utara.
1. Diastrofisme
Adalah proses pergerakan lempeng muka bumi yang satu terhadap yang lainnya, mengakibatkan adanya berbagai bentuk di permukaan bumi. Bentuk bentuk tersebut adalah :


Ø  Sesar
Biasanya terjadi pada batuan beku atau batuan lainnya seperti batuan metamorfosa. Bagian patahan yang rendah disebut palung (graben). Bagian yang terangkat istilahnya horst.
Ø  Kekar
Kekar adalah retakan pada batuan yang dibentuk oleh tekanan yang dihasilkan oleh kejadian-kejadian tektonik, pendinginan, atau pantulan isostasi. Panjangnya bervariasi mulai dari milimeter hingga kilometer. Pada singkapan batuan kekar dapat berupa retakan kecil seukuran rambut yang panjangnya hanya beberapa millimeter atau rekahan terbuka sepanjang satu meter atau lebih.
Ø  Lipatan
Lipatan adalah struktur yang tadinya datar namun telah dibengkokkan oleh gaya-gaya horizontal dan vertikal pada kerak bumi. Lipatan dapat 6 dihasilkan dari berbagai proses: kompresi kerak bumi, pengangkatan balok di bawah selimut yang terdiri dari batuan sedimen sehingga selimut tersebut tersampir di atas balok yang terangkat, dan luncuran gravitasional serta pelipatan di mana batuan berlapis meluncur ke bawah sisi-sisi balok yang terangkat lalu remuk. Bentang alam lipatan adalah:
ü  Antiklin
ü  Sinklin
ü  Monoklin
ü  Asymmetric fold
ü  Recumbent fold

2. Denudasi
Denudasi adalah semua kegiatan yang terjadi di atas muka bumi yang mengakibatkan terkikisnya lapisan batuan di muka bumi baik secara mekanik ataupun kimia, baik berupa pengikisan ataupun pelapukan. Peneplain adalah suatu istilah yang diberikan oleh W.M. Davis untuk menyatakan suatu permukaan dengan relief rendah yang terkikis hingga mencapai permukaan laut dan terbentuk melalui erosi pada jangka waktu yang lama. Degradasi Secara keseluruhan, muka bumi yang dapat dilihat saat ini merupakan hasil degradasi atau perusakan yang diakibatkan oleh tenaga destruktif. Tenaga destruktif utama adalah air yang menyebabkan kerusakan karena mengalir dan karena larutnya berbagai zat di air yang juga mengakibatkan terjadinya peristiwa kimia merusak batuan tertentu. Di wilayah Nabire yang memiliki vegetasi padat (dengan hampir seluruh wilayahnya didominasi oleh hutan) dan aliran sungai yang banyak dan bercabang-cabang, pengikisan yang terjadi dapat dipastikan dilakukan oleh agen destruktif air. Oleh karena itu, pengikisan mekanik disini adalah pengikisan oleh aliran air dan pengikisan kimia adalah pengikisan yang diakibatkan oleh zat-zat yang terlarut dalam air.
3. Agradasi
Agradasi, atau pengendapan yang dilakukan oleh agen-agen pengerosi seperti angin, air, dan es. Oleh karena di wilayah Indonesia agradasi aktif dilakukan oleh air dan khususnya di wilayah Nabire, tidak terjadi agradasi selain yang dilakukan air, maka hanya akan dipaparkan mengenai agradasi yang dilakukan oleh air. Agradasi oleh air terjadi apabila daya angkutnya menurun. Penurunan daya angkut air diakibatkan oleh menurunnya volume air atau menurunnya gradien lereng.