Sebagai
daerah pertemuan tiga lempeng aktif, Indonesia juga memiliki daerah busur
kepulauan yang menyebar sepanjangan wilayah timur – selatan Indonesia. Pergerakan
lempeng – lempeng secara aktif pada masa neogen menyusun Indonesia menjadi
beberapa jalur aktif busur magmatik. Indonesia memiliki 7 jalur utama busur
magmatik dan beberapa busur minor. Ketujuh busur mayor tersebut adalah:
1. Busur Sunda-Banda (Neogen)
2. Busur Sumatra-Meratus (Pertengahan dan
Akhir Cretaceous)
3. Busur Halmahera (Neogen)
4. Busur Sulawesi-Timur Mindanao (Neogen)
5. Busur Kalimantan Tengah (pertengahan
Tertiary dan Neogen)
6. Busur Tengah Irian Jaya (Neogen)
7. Busur Aceh (Neogen)
Pembagian
Busur di Indonesia (berbagai sumber)
2.1
BUSUR
SUMATRA-MERATUS
Merupakan busur kontinen yang memanjang pada ujung bagian
selatan Paparan Sunda dari utara Sumatera melewati ujung timur Jawa Barat
menerus ke arah timur Kalimantan. Paparan Sunda bersifat kontinen masif dengan
batuan dasar berumur Paleosen atau lebih tua menerus ke arah utara melalui
Semenanjung Malaysia ke arah Thailand, Myanmar, dan Indocina. Bagian busur
oseanik berupa Grup Woyla pada bagian barat Pulau Sumatera merupakan hasil
proses pengangkatan ke arah selatan pada margin kontinen dari Paparan Sunda
(Cameron dkk., 1980; Wajzer dkk., 1991).
Kemungkinan ini terjadi pada Awal sampai Akhir Kapur. Busur
batuan basa berarah utara mengalami tumbukan yang menyebabkan terbentuknya
batuan ofiolit dan selanjutnya terangkat menempati bagian dari tepian selatan
Paparan Sunda, membentuk Grup Woyla pada bagian utara Sumatera, batuan yang
sama terdapat pada bagian barat Sumatera Selatan, batuan ofiolit di Jawa bagian
baratdaya, Ofiolit Meratus dan Formasi Alino di Kalimantan bagian tenggara.
Kondisi yang mirip terjadi sebelum Kapur Tengah dimana batuan basa dan ofiolit
terangkat menempati tepian barat Paparan Sunda (Mitchell, 1992).
Busur Sumatra - Meratus
Sejak Jura Tengah sampai Akhir Kapur, tepian selatan Paparan Sunda
kemungkinan merupakan tepi kontinen yang pasif, di Sumatera ke arah barat dan
Kalimantan ke arah utara, pada Akhir Kapur terjadi perputaran ke arah
berlawanan jarum jam pada bagian timur Paparan Sunda dan berarah jarum jam pada
bagian barat Paparan Sunda terhadap posisi pada saat ini.
Batuan oseanik berupa Grup
Woyla pada bagian barat Sumatera merupakan hasil proses pengangkatan ke arah
selatan pada tepi kontinen dari Paparan Sunda. Hal ini kemungkinan bahwa pada
akhir Kapur Awal busur batuan basa berarah utara mengalami tumbukan, terdapat
asosiasi ofiolit dan terangkat menempati pada bagian dari tepian selatan
Paparan Sunda yang pasif membentuk Grup Woyla pada bagian utara Sumatera.
Batuan yang ekuivalen terdapat pada sebelah barat Sumatera bagian selatan,
batuan ofiolit di Jawa bagian baratdaya, ofiolit Meratus dan Formasi Alino di
Kalimantan bagian tenggara.
Busur magmatik mulai mengalami
pembalikan proses tektonik setelah pembentukan Kelompok Woyla. Penunjaman ke
arah utara menyebabkan pembentukan busur magmatik pada Awal Kapur sampai Akhir
Kapur yang melampar melewati Sumatera dan Laut Jawa, terobosan-terobosan
berasosiasi dengan kelompok batuan volkanik Manunggal di Pegunungan Meratus, di
Sumatera, termasuk pluton Ulai, Batolit Manunggal dan Batolit Sikuleh.
Intrusi-intrusi tersebut umumnya menerobos Woyla, akan tetapi di Jalur Bukit
Barisan Sumatera Selatan intrusi granit secara struktural menempati bagian
lebih rendah, pada Awal Mesozoik atau batuan lebih tua dari batuan dasar
kontinen.
2.2
BUSUR
SUNDA-BANDA
Busur
Sunda-Banda merupakan busur paling panjang di Indonesia, melampar dari utara
Pulau Sumatera melewati Pulau Jawa ke arah timur dan berakhir di Pulau Banda.
Segmen barat terdiri dari Sumatera, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, dan
terbentuk pada tepian selatan Paparan Sunda. Bagian timur dari Jawa Tengah
ditafsirkan sebagai busur kepulauan terbentuk pada kontinen yang tipis atau
kerak intermedier. Kegiatan tektonik
Paleogen dan diikuti tektonik Akhir Kapur dimana kegiatan volkanisme di Busur Sumatera-Meratus
berakhir. Margin kontinen posisi pasif dari Paparan Sunda pada Akhir Eosen
(Hamilton, 1979; Daly dkk., 1991) telah melampar ke arah Pulau Sumatera, dimana
intrusi kalk-alkali terjadi dengan umur antara 52 - 57 juta tahun, dan
kemungkinan lebih muda (N. Cameron, pers commun., 1991; Wajzer dkk., 1991)
menggambarkan adanya penunjaman secara lambat ke arah utara pada awal sampai
pertengahan Eosen.
Deformasi
bersifat kompresif di lepas pantai Pulau Sumatera bagian barat (Daly dkk.,
1991) dan berakhirnya penunjaman Paleogen merupakan gambaran saat terbentuknya
ofiolit pada bagian utara dan busur kepulauan yang bertepatan dengan
terbentuknya Ofiolit Oligosen di jalur Indo-Burma (Sengupta dkk., 1990) dan
terbentuknya batuan bancuh dengan fragmen ofiolit pada kepulauan di sebelah
barat Sumatera (Harbury & Kallagher, 1991). Di bagian timur Pulau Sumatera,
ofiolit dann batuan Paleogen, termasuk basal di Jawa merupakan bagian dari
margin Sunda sebelum Akhir Oligosen.
Busur Sunda-Banda.
Menurut
W. McCourt (1993), pada Akhir Oligosen sampai Akhir Moiosen, busur magmatik
yang melampar luas pada sebagian besar Pulau Sumatera membentuk formasi batuan
yang oleh van Bemmelen (1949) disebut Formasi Andesit Tua. Busur ini secara
strategis setempat terpisah dari batuan yang lebih muda yaitu batuan yang lebih
muda dari Neogen yang dicirikan oleh batuan endapan laut, termasuk didalamnya
batulumpur. Sampai sekarang belum ada umur pengendapan batuan yang dapat
dikorelasikan dengan busur Tersier Tengah tersebut, posisinya bersamaan dengan
busur Neogen.
Busur
Andesitik berumur Miosen dengan pelamparan yang sama dengan volkanik Kuarter,
melampar sepanjang Bukit Barisan (eg., Aspden dkk., 1982b; Aldiss dkk., 1983)
dan menerus ke Jawa dan bagian barat dari Busur Banda sampai Damar. Di luar
sebaran tersebut, ke arah timur hanya dijumpai pulau-pulau dengan endapan
volkanik Kuarter dan tidak didapatkan data bahwa pada saat Neogen melampar
sampai daerah tersebut.Di Pulau Sumatera, batuan gunungapi dominan terbentuk
pada lingkungan darat dan umumnya menumpang pada batuan berumur Miosen Awal
berupa batuan gunungapi, batulumpur, dan batuan dasar berumur Miosen dan
Paleozoik termasuk juga batuan ofiolit Mesozoik Akhir dari grup Woyla, serta batuan
plutonik busur magmatik Kapur Akhir.
2.3
BUSUR
SULAWESI-TIMUR MINDANAO
Pulau
Sulawesi mempunyai bentuk yang berbeda dengan pulau lainnya. Apabila melihat
busur-busur disekelilinya Benua Asia, maka bagian concaxnya mengarah ke Asia
tetapi Pulau Sulawesi memiliki bentuk yang justru convaxnya yang menghadap ke
Asia dan terbuka ke arah Pasifik, oleh karena itu Pola Sulawesi sering disebut
berpola terbalik atau inverted arc.Pulau Sulawesi terletak pada zone peralihan
antara Dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul dan dikelilingi oleh laut yang
dalam. Dibagian utara dibatasi oleh Basin Sulawesi ( 5000 – 5500 m ). Di bagian
Timur dan Tenggara di batasi oleh laut Banda utara dan Laut Banda Selatan
dengan kedalaman mencapai 4500 – 5000 m. Sedangkan untuk bagian Barat dibatasi
oleh Palung Makasar (2000-2500m).
Sebagian
besar daerahnya terdiri dari pegunungan dan tataran rendah yang terdapat secara
sporadik, terutama terdapat disepanjang pantai. Dataran rendah yang relatif
lebar dan padat penduduknya adalah dibagian lengan Selatan. Berdasarkan
orogenesenya dapat dibagi ke dalam tiga daeran (Van Bemmelen, 1949) sebagai
berikut:
A. Orgonese di Sulawesi
1.
Orogenese di bagian Sulawesi Utara
Meliputi
lengan Utara Sulawesi yang memanjang dari kepulauan Talaud sampai ke Teluk Palu
– Parigi. Daerah ini merupakan kelanjutan ke arah Selatan dari Samar Arc.
Termasuk pada daerah ini adalah Kepulauan Togian, yang secara geomorfologis
dikatakan sebagai igir Togian (Tigian Ridge). Daerah orogenese ini sebagain
termasuk pada inner arc, kecuali kepulauan Talaud sebagai Outer Arc.
2.
Orogenese di bagian Sulawesi Sentral
Dibagian
sentral ini terdapat tiga struktur yang menjalur Utara – Selatan sebagai
berikut:
a. Jalur Timur disebut Zone
Kolonodale terdiri atas lengan timur dan sebagian yang nantinya bersambung
dengan lengan Tenggara. Sebagai batasnya adalah garis dari Malili.
b.
Teluk Tomori. Daerah ini oleh singkapan-singkapan batuan beku ultra basis.
c. Jalur Tengah atau Zone Poso,
batas Barat jalur ini adalah Medianline. Zona ini merupakan Graben yang
memisahkan antara Zona Barat dan Timur.Dibagian Utara Zone ini terdapat Ledok
Tomini dan di Selatannya terdapat Ledok Bone
Daerah
ini ditandai oleh mayoritas batuan Epi sampai Mesometamorfik crystalline schist
yang kaya akan muscovite.
d. Jalur Barat atau Zona Palu,
ditandai oleh terdapat banyaknya batuan grano – diorite, crystalline schist
yang kaya akan biotite dan umumnya banyak ditemui juga endapan pantai. Zona ini
dibagian Utara dibatasi oleh Teluk Palu – Parigi, di Selatan dibatasi garis
dari Teluk Mandar – Palopo. Dari Teluk Mandar – Palopo ke arah selatan sudah
termasuk lengan Selatan – Sulawesi. Daerah jalur Barat ini merupakan
perangkaian antara lengan Utara Zone Palu dan lengan selatan merupakan satuan
sebagain Inner Arc
.
3.Orogenese
di bagian Sulawesi Selatan
Secara
garis besar tangan selatan Sulawesi merupakan kelanjutan Zone Palu (Zone bagian
barat Sulawesi Tengah) dan tangan tenggara merupakan kelanjutan dari tangan
Timur Sulawesi (Zone Kolonodale). Secara Stratigrafi antara lengan selatan dan
lengan tenggara banyak memiliki kesamaan, begitu juga antara Zone Palu Lengan
Utara dengan Zone Kolonodale Lengan Timur dilain fihak. Walaupun demikian
diantaranya terdapat perbedaan-perbedaan sebagai contoh bagian ujung selatan
(di Selatan D. Tempe).
B. Geologi Regional
Sulawesi
terletak pada pertemuan Lempeng besar Eurasia, Lempeng Pasifik, serta sejumlah
lempeng lebih kecil (Lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya
sangat kompleks. Kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofi olit,
dan bongkah dari mikrokontinen terbawa proses penunjaman, tubrukan, serta
proses tektonik lainnya (Van Leeuwen, 1994). Berdasarkan keadaan litotektonik,
Sulawesi dibagi tiga mandala, yaitu: Mandala barat sebagai jalur magmatik yang
merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda; Mandala tengah berupa batuan
malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia; dan
Mandala timur berupa ofi olit yang merupakan segmen dari kerak samudera
berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias - Miosen. Van Leeuwen (1994)
menyebutkan bahwa mandala barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian utara memanjang dari Buol sampai
sekitar Manado, dan bagian barat dari Buol sampai sekitar Makassar.
Secara
geologi, sulawesi merupakan wilayah yang geologinya sangat komplek, karena
merupakan perpaduan antara dua rangkaian orogen ( Busur kepulauan Asia timur
dan system pegunungan sunda ).Sehingga, hamper seluruhnya terdiri dari pegunungan,
sehingga merupakan daerah paling berpegunungan di antara pulau- pulau besar di
Indonesia (Sutardji, 2006 :100).
C. Pembagian
Litogenetik di Pulau Sulawesi
Berdasarkan
keadaan litotektonik Pulau Sulawesi dibagi 3 yaitu:
1. Mandala
barat (West & North Sulawesi Volcano - Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik
(Cenozoic Volcanics and Plutonic Rocks) yang merupakan bagian ujung timur
Paparan Sunda;
2. Mandala
tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia
3. Mandala
timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang merupakan segmen dari
kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen
C. Jenis Endapan Mineral
Pada
busur ini, aktivitas magmatik cenderung berada pada daerah bawah laut dan juga
tersusun oleh batuan sedimen sebagai akumulasi kegiatan tektonik aktif di
daerah ini. Dominasi busur ini adalah aktivitas lempeng aktif yang membentuk
lengan – lengan kepulauan Sulawesi. Akibat pertemuan tiga lempeng samudera yang
berada di sulawesi arc menyebabkan magma basa sehingga menghasilkan mineral
yang mengandung logam berat. Akibatnya, mineralisasi yang terjadi meliputi
porfiri emas-tembaga, endapan sulfidasi tinggi, sediment hosted gold, dan urat
sulfidasi rendah.
2.4
BUSUR
ACEH
Busur
Aceh (Neogen) Busur Aceh berbatasan dengan bagian utara dari Sumatera.
Stephenson dkk (1982) menggambarkan
penunjaman di lepas pantai bagian utara Sumatera dimana pada daerah ini
endapan gunungapi muda berhubungan dengan yang terdapat pada bagian daratan.
Tunjaman tersebut kemungkinan juga aktif pada awal Miosen Tengah, diduga bahwa
penunjaman ke arah selatan dari Cekungan Mergui yang bersifat oseanik menunjam
di bawah batuan dasar bagian utara Sumatra dari Paparan Sunda. Meskipun sedikit penyelidikan yang dilakukan,
Busur Aceh dengan jelas dapat dibedakan dengan bagian barat dari Busur
Sunda-Banda, serta dicirikan dengan terdapatnya tembagamolibdenum porfiri (Van
Leeuwen dkk., 1987 dalam Carlile dan Mitchell, 1996) dan lebih dominannya
mineralisasi epitermal sulfidasi tinggi dibandingkan sulfidasi rendah.
Zona
penunjaman lempeng sepanjang Palung Sunda dapat dipetakan lebih akurat melalui
peta batimetri terbaru Kelurusan lembah dan gawir di dalam komplek Busur Muka
Aceh membentuk unsur patahan utama yang ditafsirkan sebagai sesar anjak berarah
utara baratlaut-selatan tenggara di kawasan utara lintang 5°U dan berbelok
hampir barat-timur di selatan Pulau Simeulue. Komplek sesar anjak di dekat
palungatau pada zona deformasi lebih aktif dibandingkan dengan Komplek Sesar
Anjak Utama dan sesar anjak yang dekat dengan Cekungan Busur Muka Aceh (Komplek
Sesar Anjak Atas).
Kelurusan
struktur berupa gawir dan lembah sempit umumnya berarah utara-selatan yang
memotong kelurusan berarah baratlaut-tenggara. Kelurusan tersebut dianggap
kelurusan paling muda berupa patahan geser dekstral yang kemungkinan masih
aktif. Kelurusan perbukitan yang membentuk kelurusan en echelon dengan arah
bervariasi utara baratlautselatan tenggara dan baratlaut – tenggara, dan
kemudian berubah menjadi berarah hampir barat-timur di sekitar Pulau Simeulue.
Pola kelurusan perbukitan tersebut ditafsirkan sebagai respon dari naiknya
tingkat kemiringan bidang penunjaman lempeng dari daerah Simeulue ke arah
Lintang 5°U -7°U atau secara umum dari selatan Sumatra ke arah utara Sumatr.
2.5
BUSUR
KALIMANTAN TENGAH
Busur Kalimantan Tengah merupakan busur kontinen yang
melampar dari Kalimantan bagian timurlaut ke arah selatan melewati Kalimantan
Tengah dan Barat dan menerus ke Serawak. Batuan berumur sebelum Kapur termasuk
sedimen Mesozoik berada di atas sekis dan filit berumur Paleozoik, dimana
terbentuk pada saat orogenesa yang terjadi pada Awal Mesozoik (Hutchinson,
1989).
Busur ini
terakhir di intrusi oleh granit pada Trias Akhir, kemungkinan berlangsung juga
pembentukan jalur timah putih di Asia Tenggara pada Awal Mesozoik dimana
diintrusi juga oleh pluton berumur Kapur Awal seperti dapat dijumpai pada Pegunungan
Schwaner. Pada pertengahan Eosen, terbentuk tufa riolit berumur 49,7 dan 48,6
juta tahun (Baharuddin dkk., 1990). Sebelum Eosen Atas sampai Oligosen,
terbentuk batuan sedimen. Kondisi pembentukan tufa riolit tersebut kemungkinan
akibat pemekaran yang berkaitan dengan pembentukan Laut Sulawesi.
Busur
magmatik di tengah Pulau Kalimantan diketahui pada beberapa tahun terakhir dari
sisa-sisa erosi batuan andesitik sampai trahit-andesitik dari volkanik fasies
sentral yang berumur Oligosen Akhir sampai Awal Miosen, pada beberapa tempat
berasosiasi dengan cebakan emas dan beberapa daerah prospek logam. Batuan
volkanik tersebut termasuk juga trahit-andesit yang berumur 23 juta tahun
tersingkap dekat tambang Kelian (van Leeuwen dkk., 1990), batuan terobosan
andesit dan basalt berumur 14,4 - 24 juta tahun di antara Kelian dan Gunung
Muro (van de Weerd dkk., 1987).
Busur ini dapat dikaitkan dengan Busur Kalimantan Barat
dimana tonalit berumur 21 dan 27,8 juta tahun di serantak dan prospek emas
Banyi (S. Bugg, pers.com, 1992) merupakan yang termuda dan kemungkinan
terbentuk setelah terobosan-terobosan pra-mineralisasi. Pada utara pusat volkanik
Atan, busur menerus melewati intrusi-intrusi granodiorit dan granit berumur 26
juta tahun di Long Laai (Hutchinson, 1989) dan granodiorit di daerah Kujau.
Ke arah utara akhirnya busur menghilang di bawah sistem busur
Neogen di daerah Sabah. Akhir dari jalur vulkanisme terjadi 20 juta tahun,
diindikasikan adanya tumbukan dengan fragmen dari zona kontinen di Sarawak
barat laut (Hutchinson, 1989). Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa
Busur Tengah Kalimantan berkaitan penunjaman ke arah selatan pada Oligosen -
Awal Miosen, jalur tunjaman umumnya terletak pada atau barat laut Serawak.
Jalur sedimen pada cekungan di Ketungau, Melawi dan Mandali bagian tengah
Kalimantan yang terbentuk pada Akhir Eosen Oligosen (Williams dkk, 1988)
menggambarkan bahwa endapan terbentuk pada cekungan busur luar.
2.6
BUSUR
HALMAHERA
Busur
Halmahera melampar dari Pulau Bacan di bagian selatan menerus ke arah bagian
utara dari lengan Pulau Halmahera dan menerus ke bagian barat Pulau Morotai.
Batuan dasar tersingkap di bagian selatan dari busur ini, di Pulau Bacan
terdiri dari sekis dengan batuan basaltik dan andesitik berumur Paleogen
terdapat di bagian utara (Sufni Hakim dan Hall, 1991). Batuan Paleogen tersebut
menumpang pada ofiolit dimana secara stratigrafi menumpang di atas sekis Bacan.
Stratigrafi
Pulau Halmahera dan Pulau Waigeo mirip dengan stratigrafi bagian timur Mindanao
(Hall dkk, 1991). Kemungkinan daerah ini pada saat Paleogen berada pada satu
lempeng, dan ofiolit Halmahera-Waigeo merupakan bagian dari ofiolit New Guinea
- bagian timur Pulau Sulawesi dan menerus ke daerah Mindanao (Mitchell dan
Leach, 1991).
Sekis Bacan merupakan batuan
malihan, sebagai batuan dasar yang termasuk bagian Sula-Buton-Bumbulan bagian
dari kontinen New Guinea dan ofiolit Waigeo tersesarkan naik ke arah selatan
(Chariton dkk, 1991) dan menumpang pada Sekis Bacan pada Oligosen. Setelah itu,
saat New Guinea bergerak ke arah utara, Halmahera terputar dan kemungkinan
bergerak ke arah barat pada patahan Sorong selama proses penunjaman di Laut
Molucca dengan arah timur.
Busur andesitik di Halmahera terdiri
dari batuan terobosan dan batuan gunungapi Neogen yang setempat-setempat dan
tertutup endapan gunungapi Kuarter. Batuan eruptif Neogen terbentuk pada Akhir
Miosen atau Pliosen (Sufni Hakim dan Hall, 1991).Terobosan tonalit di Bacan
kemungkinan berumur lebih tua. Terobosan tersebut merupakan akibat adanya
penunjaman ke arah selatan disertai pembentukan ofiolit di Halmahera dan balik
busur. Hal ini ekuivalen dengan pembentukan batuan Gunungapi Moon dan diorit
Utawa di Papua. Batuan gunungapi Akhir Neogen berhubungan dengan penunjaman di
Laut Maluku, dimana Halmahera bergerak ke arah barat.
2.7
BUSUR
TENGAH IRIAN JAYA
Daerah busur tengah Irian Jaya memanjang dari kepala
burung hingga Papua Nugini. Hal ini berkaitan dengan pergerakan sabuk New
Guinea, sebuah zona sabuk metamorfik dan pembentukan ophiolit. Busur diikuti
juga dengan subduksi di selatan dan diikuti penumbukan. Kegiatan vulkanisme
yang mengikuti adalah bersifat andesitik. Busur tengah Irian Jaya terbentuk di
lempeng aktif Pasifik. Deformasi yang terus terjadi mengakibatkan pembentukan
deposit pada daerah benua pasif yang terbentuk sebelumnya dengan dasar berupa
batugamping jalur New Guinea. Mineralisasi yang terjadi berupa porfiri yang
kaya akan emas, badan bijih skarn.
Keberadaan ketujuh busur mayor ini berkaitan dengan
mineralisasi aktif di Indonesia, terutama terhadap emas dan tembaga. Jumlah endapan
per km panjang busur tergantung pada masing - masing busur dan kontrol lain
yang berkaitan dengan mineralisasi. Pada gambar di atas ditunjukkan daerah
mineralisasi aktif sepanjang busur magmatik di Indonesia.
Struktur Geologi Dari tatanan tektonik Irian Jaya
Kepulauan Misool terletak pada Misool – Onin High yang berbatasan dengan
Cekungan Salawati di utaranya. Struktur geologi Kepulauan Misool membentuk
lajur antiklin yang tersesarkan, dan diduga merupakan suatu antiklinorium
dengan arah sumbu sejajar dengan pantai selatan pulau Misool (Arah Barat –
Timur). Berdasarkan penafsiran tersebut P. Misool diperkirakan merupakan sayap
utara antiklinorium dengan sayap selatannya ditempati oleh pulau – pulau kecil
di sebelah selatan dan tenggara dari P. Misool. Antiklinorium ini
dipotong oleh beberapa sesar turun dan sesar geser yang berarah Timurlaut dan
Timur – Tenggara. Disamping itu terdapat kelurusan-kelurusan berarah Timurlaut
dan Utara – Timurlaut di bagian utara.
1. Diastrofisme
Adalah proses pergerakan lempeng muka bumi yang satu
terhadap yang lainnya, mengakibatkan adanya berbagai bentuk di permukaan bumi.
Bentuk bentuk tersebut adalah :
Ø Sesar
Biasanya terjadi
pada batuan beku atau batuan lainnya seperti batuan metamorfosa. Bagian patahan
yang rendah disebut palung (graben). Bagian yang terangkat istilahnya horst.
Ø Kekar
Kekar adalah
retakan pada batuan yang dibentuk oleh tekanan yang dihasilkan oleh
kejadian-kejadian tektonik, pendinginan, atau pantulan isostasi. Panjangnya
bervariasi mulai dari milimeter hingga kilometer. Pada singkapan batuan kekar
dapat berupa retakan kecil seukuran rambut yang panjangnya hanya beberapa
millimeter atau rekahan terbuka sepanjang satu meter atau lebih.
Ø Lipatan
Lipatan adalah
struktur yang tadinya datar namun telah dibengkokkan oleh gaya-gaya horizontal
dan vertikal pada kerak bumi. Lipatan dapat 6 dihasilkan dari berbagai proses:
kompresi kerak bumi, pengangkatan balok di bawah selimut yang terdiri dari
batuan sedimen sehingga selimut tersebut tersampir di atas balok yang
terangkat, dan luncuran gravitasional serta pelipatan di mana batuan berlapis
meluncur ke bawah sisi-sisi balok yang terangkat lalu remuk. Bentang alam
lipatan adalah:
ü Antiklin
ü Sinklin
ü Monoklin
ü Asymmetric fold
ü Recumbent fold
2. Denudasi
Denudasi adalah semua kegiatan yang terjadi di atas
muka bumi yang mengakibatkan terkikisnya lapisan batuan di muka bumi baik
secara mekanik ataupun kimia, baik berupa pengikisan ataupun pelapukan.
Peneplain adalah suatu istilah yang diberikan oleh W.M. Davis untuk menyatakan
suatu permukaan dengan relief rendah yang terkikis hingga mencapai permukaan
laut dan terbentuk melalui erosi pada jangka waktu yang lama. Degradasi Secara
keseluruhan, muka bumi yang dapat dilihat saat ini merupakan hasil degradasi
atau perusakan yang diakibatkan oleh tenaga destruktif. Tenaga destruktif utama
adalah air yang menyebabkan kerusakan karena mengalir dan karena larutnya
berbagai zat di air yang juga mengakibatkan terjadinya peristiwa kimia merusak
batuan tertentu. Di wilayah Nabire yang memiliki vegetasi padat (dengan hampir
seluruh wilayahnya didominasi oleh hutan) dan aliran sungai yang banyak dan
bercabang-cabang, pengikisan yang terjadi dapat dipastikan dilakukan oleh agen
destruktif air. Oleh karena itu, pengikisan mekanik disini adalah pengikisan
oleh aliran air dan pengikisan kimia adalah pengikisan yang diakibatkan oleh
zat-zat yang terlarut dalam air.
3. Agradasi
Agradasi, atau pengendapan yang dilakukan oleh
agen-agen pengerosi seperti angin, air, dan es. Oleh karena di wilayah
Indonesia agradasi aktif dilakukan oleh air dan khususnya di wilayah Nabire,
tidak terjadi agradasi selain yang dilakukan air, maka hanya akan dipaparkan
mengenai agradasi yang dilakukan oleh air. Agradasi oleh air terjadi apabila
daya angkutnya menurun. Penurunan daya angkut air diakibatkan oleh menurunnya
volume air atau menurunnya gradien lereng.